Jumat, 30 Desember 2016

ISIM DAN PEMBAGIANNYA A. Ta’rif dan Tankir (Isim Ma’rifah dan Nakirah)

KAIDAH-KAIDAH DALAM MEMAHAMI AYAT-AYAT AL-QUR’AN MELALUI LAFAL-LAFAL YANG TERDAPAT DI DALAMNYA
(Klasifikasi Lafal dari Segi Jenisnya)

Mata Kuliah: Qawa’id Al-Tafsir

Oleh:
NORMALIANA
NIM : 1502521465



Dosen:
Prof. Dr. H. Mahyuddin Barni, M.Ag.
Prof. Dr. H. A. Fahmi Arief, M.Ag.











INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015



 


BAB I
PENDAHULUAN

Kitab suci Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam segala as-peknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang diguna-kannya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami Al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa arab, maka kaidah-kaidah kebahasaan akan dapat membantu dalam penafsiran al-Qur'an. Tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahami al-Qur'an kecuali diperlukan adanya penguasaan terhadap bahasa Arab.
Penguasaan terhadap kaidah bahasa Arab merupakan kunci untuk memahami tafsir Al-Qur’an, karena setiap kata dan susunan Al-Qur’an mempunyai makna dan kedudukan masing-masing. Sehingga apabila kita kurang memahami kaidah bahasa Arab, maka kita tidak akan betul-betul memahami makna Al-Qur’an, apalagi tafsir Al-Qur’an yang merupakan makna yang lebih mendalam dari setiap ayat Al-Qur’an.
Makalah ini mencoba memaparkan sekelumit tentang dasar dari tata bahasa Arab yang merupakan modal awal bagi seorang penafsir atau pemerhati tafsir Al-Qur’an. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya, aamin.
  

BAB II
ISIM DAN PEMBAGIANNYA
A.  Ta’rif dan Tankir (Isim Ma’rifah dan Nakirah)
1.    Penggunaan Isim Nakirah
Isim nakirah ialah isim yang menunjukkan suatu perkara yang tidak ditentukan. Contoh:    رجلartinya laki-laki yang tidak ditentukan (bersifat umum).[1]
Penggunaan isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
a.    Untuk menunjukkan satu, seperti pada وَجَاءَ رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَى اْلمَدِيْنَةِ يَسْعَى (Yasin, 36:20). “Rajulun” maksudnya adalah seorang laki-laki.
b.    Untuk menunjukkan macam, seperti:  وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ (Al-Baqarah, 2:96), yakni sesuatu macam dari kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
c.    Untuk menunjukkan satu dan macam sekaligus. Misalnya pada: وَاللهُ خَلَقَ كُلَّ دَآبَّةٍ مِّنْ مَآءٍ (An-Nur, 24:45). Maksudnya setiap macam dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah.
d.   Untuk membesarkan (memuliakan) keadaan, seperti: فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ (Al-Baqarah, 2:279). Maksud “harbin” ialah peperangan yang besar atau dahsyat.
e.    Untuk menunjukkan arti banyak, seperti pada ayat: أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا (Asy-Syu’ara, 26:42). Maksud “ajran” ialah pahala yang banyak.
f.     Untuk membesarkan dan menunjukkan banyak (gabungan dua poin di atas) misalnya: وَإِنْ يُكَذِّبُوْكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ (Fathir, 35:4). Maksudnya rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.
g.    Untuk meremehkan, misalnya: مِنْ أَيِّ شَيْئٍ خَلَقَهُ (‘Abasa, 80:18). Yakni, dari sesuatu yang hina, rendah dan teramat remeh.
h.    Untuk menyatakan sedikit, seperti dalam ayat: وَعَدَ اللهُ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ جَناَّتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ (Bara’ah, 9:72). Maksudnya, keridhaan yang sedkit dari Allah itu lebih besar dari pada surga, karena keridhaan itu pangkal segala kebahagiaan.
2.    Penggunaan Isim Ma’rifah
Masing-masing ma’rifah dan nakirah mempunyai fungi yang berbeda. Penggunaan isim ma’rifah (ta’rif) mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya.[2]
a.    Ta’rif dengan isim dhamir (kata ganti) karena keadaan menghendaki demikian, baik dhamir mutakallim, mukhathab ataupun ghaib.
b.    Ta’rif dengan ‘alamiyyah (nama) berfungsi untuk:
1)  Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas.
2)  Memuliakan, seperti pada ayat: مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Al-Fath, 48:29).
3)  Menghinakan, seperti pada ayat: تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ (Al-Lahab, 111:1).
c.    Ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk:
1)   Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti: هٰذاَ خَلْقُ اللهِ فَأَرُوْنِيْ مَاذاَ خَلَقَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهِ (Luqman, 31:11).
2)   Menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh, seperti: وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (ABaqarah, 2:5).
3)   Menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti: وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ (Al-‘Ankabut, 29:64).
4)   Memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ (Al-Baqarah, 2:2)
5)   Mengingatkan (tanbih) bahwa sesuatu yang ditunjuk (musyar ilaih) yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut. Misalnya:
ذٰلِكَ اْلكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ . اَلَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْناَهُمْ يُنْفِقُوْنَ . وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ . أُولٰئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولٰئِكَ هُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ (Al-Baqarah, 2:2-5)
d.   Ta’rif dengan isim maushul (kata ganti penghubung) berfungsi:
1)   Karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya atau disebabkan hal lain , seperti pada firman Allah:
وَالَّذِيْ قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا  (Al-Ahqaf, 46:17). Dan firman-Nya: وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ (Yusuf, 12:23).
2)   Untuk menunjukkan arti umum, seperti: وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (Al-‘Ankabut, 29:69).
3)   Untuk meringkas kalimat, seperti: يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ آذَوْا مُوْسٰى فَبَرَّأَ اللهُ مِمَّا قَالُوْا (Al-Ahzab, 33:69). Andaikata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan tentulah pembicaraan (kalimat) itu menjadi panjang.
e.    Ta’rif dengan alif-lam (al) berfungsi:
1)   Untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (ma’hud zikri), seperti: اَللهُ نُوْرُ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضِ، مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ، اَلْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ، اَلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ (An-Nur, 24:35).
2)   Untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui bagi pendengar seperti pada: لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ (Al-Fath, 48:18).
3)   Sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu seperti: اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ (Al-Maidah, 5:3).
4)   Untuk mencakup semua satuannya (istighraqul afrad), seperti: إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (Al-‘Ashr, 103:2). Ini diketahui karena ada pengecualian sesudahnya.
5)   Untuk menghabiskan segala karakteristik jenis, seperti: ذٰلِكَ اْلكِتَابُ (Al-Baqarah, 2:2). Maksudnya, kitab yang sempurna petunujuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya.
6)   Untuk menerangkan esensi, hakikat dan jenis, seperti dalam ayat: وَجَعَلْنَا مِنَ اْلمَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ (Al-Anbiya, 21:30). [3]
Di dalam beberapa redaksi yang mirip terdapat jenis morfem (kata) tetentu yang persis sama, namun berlainan ketika memakainya. Pada salah satu redaksi, umpamanya, di awal morfem tersebut ditambahkan alif lam (ال), kata serupa inilah yang disebut ma’rifat. Dalam pada itu, ayat lain yang beredaksi mirip dengannya, juga memakai morfem yang sama, tapi tanpa alif lam. Kata yang serupa ini disebut nakirat. Jadi yang dimaksud dengan perbedaan ma’rifat dan nakirat di sini ialah berbedanya cara pemakaian jenis morfem tertentu dari segi penggunaan ال atau tidak.[4]
B.  Mufrad, Tatsniyah, dan Jamak
1.     Mufrad (المُفْرَدُ)
Mufrad adalah isim (kata benda) yang menunjukkan satu (tunggal). Artinya memiliki satu muatan saja, sepertiمُحَمَّدٌ ,رَجُلٌ ,قَلَم  dn lain sebagainya. Jadi, isim mufrad adalah isim yang menunjukkan dan memiliki muatan satuyang bukan isim-isim yang di kecualikan di atas.
Contoh:
كِتَابٌ    (sebuah buku)
قَلَمٌ     (sebuah pena)
رَجُل  (seorang laki-laki)

2.    Mutsanna (المثني)
Mutsanna (tatsniah) adalah isim yang memuat dua (benda/orang) dengan kesesuaian (kesamaan) lafadznya dan maknanya, dengan menambah alif dan nun atau ya dan nun pada akhirnya. Dan tambahan tersebut memang pantas dihilangkan (ditiadakan). Dua hal (baik orang/benda) yang dimuat oleh mutsanna haruslah sesuai lafadz dan maknanya.
Contoh:
رَجُل (seorang laki-laki) diubah menjadi  رَجُلَانِ (dua orang laki-laki)
قَلَمٌ (sebuah pulpen) diubah menjadi قَلَمَان (dua buah pulpen)
كِتَابٌ (sebuah buku) diubah menjadi كِتَابَان  (dua buah buku)
3.    Jama’ (الجمع).
Jamak adalah isim yang memuat (benda atau orang) tiga atau lebih dengan tambahan pada akhirannya seperti: كَاتِبُوْنَ, كَاتِبَاتُ, سَالِمِيْنَ, مُسْلِمُوْنَ dan lain sebagainnya atau bangunan kata (aslinya) mengalami perubahan, seperti: كُتُبٌ, رِجَالٌ, اَقْلَامٌ  dan lain sebagainya.
Jamak di bagi menjadi tiga yaitu: Jamak taksir, jamak mudzakkar salim, dan jamak muannats salim.
a.    Jamak taksir ( جمع تكسير )
Jamak taksir adalah kata isim yang memuat lebih dari dua (orang atau benda) dan bentuk mufradnya berubah tidak beraturan sebagaimana yang lazimnya (baku) ketika dijamakkan.
Contohnya:
 كِتَابٌ menjadi  كُتُبٌ
عَالِم menjadi عُلَمَاء
اَنْبِيَاء menjadi نبي
قَلَم menjadi اَقْلَام
Perubahannya adakalanya menambahi huruf, seperti اَقْلَامٌ (jamak dari kata قَلَمٌ), قُلُوْبٌ(jamak dari kata قَلْبٌ), مَصَابِيْحُ (jamak dari kata مِصْبَاحٌ). Ada kalanya mengurangi huruf, seperti تُخْمٌ (jaak dari kata تُخْمَةٌ ), رُسُلٌ (jamak dari kata رَسُوْلٌ) dan adakalanya merubah harakat, seperti: اُسُدٌ  (jamak dari kata اَسَدٌ )
b.    Jamak mudzakkar salim
Jamak mudzakkar salim adalah kata jamak dengan tambahan wawu-nun (ketika rafa) seperti: قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. Atau ya-nun ( ketika nasab dan jar), seperti: اَكْرَمَ المُدَرِّسِيْنَ, اِذْهَبْ اِلَي الطَالِبِيْنَ
c.    Jamak muannats salim
      Jamak muannats salim kata jamak dengan tambahan alif dan ta’pada akhirnya. Seperti:  مَدْرَسَاتُ, صَا لِحَاتُ, هِنْدَاتُ dll.
Kata yang dijamakkan dengan jamak muánnats salim antara lain: Isim álam (kata nama) untuk muánnats, seperti:  هِدَايَةٌ, مَائِدَةٌ, فَاطِمَةٌ, مَرْيَمُ  (semua nama untuk wanita), maka menjadi هِدَايَاتُ, مَائِدَاتُ, فَاطِمَاتُ, مَرْيَمَاتُ  dst.[5]


C.  Penyebutan Isim yang Berulang
Apabila sebuah isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan; kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah.
1.    Apabila kedua-duanya ma’rifah maka pada umumnya yang kedua adalah  hakikat yang pertama. Misalnya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ اْلمُسْتَقِيْمَ . صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ  (Al-Fatihah, 6-7).
2.    Jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya: اَللهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً  (Ar-Rum, 30:54). Dha’af pertama adalah nuthfah (sperma), dha’af yang kedua thufuliyyah (masa bayi), sedang dha’af yang ketiga adalah syaikhukhah (masa lanjut usia).
Kedua macam ini telah berkumpul pada ayat: فَإِنَّ مَعَ اْلعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ اْلعُسْرِ يُسْرًا (Al-Insyirah, 94:5-6). Oleh karena itu dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas berkata: “Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Hal ini karena kata ‘usr yang kedua diulangi dengan al (ma’rifah), maka ia adalah ‘usr yang pertama, sedang kata yusr yang kedua bukan yusr yang pertama karena ia diulangi tanpa al.
3.    Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui. Misalnya dalam ayat: كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُوْلاً . فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ (Al-Muzzammil, 73:15-16).
4.    Jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah. Terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda, seperti pada firman-Nya: وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ، يُقْسِمُ اْلمُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ (Ar-Rum, 30:55). Terkadang pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti:
 وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هٰذَا اْلقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ . قُرْآناً عَرَبِيًّا  (Az-Zumar, 39:27-28). Dan ayat: وَأَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ، وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ (Al-An’am, 6:153).[6]                                                                                                                             
D.  Penyebutan Isim Jamak dan Mufrad
Sebagian lafazh dalam Al-Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an sering dijumpai sebagian lafazh yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonim (muradif)-nya. Misalnya kata “al-lubb”(اللب)  yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, albaab, seperti terdapat pada ayat: إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِأُولِي اْلأَلْبَابِ (Az-Zumar, 39:21). Kata ini tidak pernah dipergunakan dalam Al-Qur’an bentuk mufradnya, namun muradifnya disebutkan, yaitu lafazh al-qalb (القلب)       seperti: إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ  (Qaf, 57:37). Dan kata al-kub (الكوب) tidak pernah dipakai bentuk mufradnya, tetapi selalu bentuk jamaknya, al-akwab. Misalnya: وَأَكْوَابٌ مَوْضُوْعَةٌ (Al-Ghasyiyah, 88:14).
Sebaliknya ada sejumlah lafazh yang hanya datang dalam bentuk mufradnya di setiap tempat dalam Al-Qur’an. Dan ketika hendak dijamakkan maka ia dijamakkan dalam bentuk yang menarik yang tiada bandingannya, seperti terdapat pada ayat: اَللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوَاتٍ وَمِنَ اْلأَرْضِ مِثْلَهُنَّ (At-Thalaq, 65:12). Allah tidak berfirman وَسَبْعَ أَرَضِيْنَ , karena yang demikian adalah kasar dan merusak keteraturan susunan kalimat.
Termasuk kelompok ini ialah lafazh اَلسَّمَاءَ , ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan kerperluan. Jika yang dimaksudkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak yang menunjukkan betapa sangat besar da luasnya, seperti terdapat dalam ayat: سَبَّحَ لِلهِ مَا فِي السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضِ (Al-Hasyr, 59:1). Dan jika yang dimaksud adalah “arah”, maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (Al-Mulk, 67:16).
Lafazh ar-riih (اَلرِّيْحُ) juga termasuk kategori ini , ia disebutkan dalam bentuk jamak dan mufrad. Pemakaian bentuk jamak dalam dalam konteks rahmat sedang bentuk mufrad dalam konteks adzab. Disebutkan, hikmahnya ialah bahwa رِيَاحُ الرَّحْمَةِ atau angin rahmat itu macam-macam sifat dan manfaatnya – dan terkadang sebagiannya berhadapan dengan sebagian yang lain – di antaranya ada angin semilir yang bermanfaat bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu dalam konteks rahmat ini ia dijamakkan رِيَاحُ . sedang dalam konteks adzab, “riih” atau angin itu datang dari satu arah, tanpa ada yang menentang atau menolaknya.
Ibn Abi Hatim dan yang lain meriwayatkan, Abu Ka’b berkata: “Segala sesuatu yang disebut dengan ar-riyaah dalam Al-Qur’an adalah rahmat, sedang yang disebut dengan ar-riih adalah adzab. Oleh karena itu tersebutlah dalam sebuah hadits: Allaahumma ij’alhaa riyaahan walaa taj’alhaa riihan. Jika tidak demikian maka hal itu karena ada hikmah lain”.
Termasuk kelompok ini adalah lafazh an-nuur yang senantiasa dimufradkan dan lafazh azh-zhulumaat yang senantiasa jamak. Juga lafazh sabiil al-haq yang selalu dimufradkan dan subul al-baathil yang selalu dijamakkan. Ini karena jalan (sabiil) menuju kebenaran itu hanya satu sedang jalan menuju kebatilan banyak sekali dan bercabang-cabang. Dengan alasan ini lafazh waliyyul mu”miniin dimufradkan dan auliyaaul kaafiriin dijamakkan. Seperti terlihat dalam: وَاللهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ، وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِنَ النُّوْرِ إِلَى الظُّلُمَاتِ (Al-Baqarah, 2:257). [7]  




BAB III
KESIMPULAN

            Pemahaman dan penguasaan dalam proses penafsiran Al-Qur’an mutlak diperlukan, karena merupakan modal awal bagi seorang penafsir untuk memahami Al-Qur’an secara lebih mendalam. Kurangnya pemahaman terhadap kaidah bahasa Arab akan berakibat pada kesalahan penafsiran Al-Quran.
            Isim dilihat dari khusus atau umumnya terbagi manjadi dua: isim nakirah, yang merupakan isim yang mengandung makna masih umum seperti رَجُلٌ (seorang laki-laki) tetapi belum ditentukan laki-laki yang mana. Sedangkan isim ma’rifah, yaitu isim yang sudah jelas makna yang dimaksud seperti الرَجُلُ  (seorang laki-laki tersebut) artinya sudah jelas laki-laki yang dimaksud.
            Isim dilihat dari jumlah atau bilangannya dibagi menjadi tiga macam, yaitu mufrad, mutsanna, dan jamak. Sedangkan jamak dalam bahasa Arab ada tiga macam, yaitu jamak taksir, jamak mudzakkar salim, dan jamak muannats salim.
            Penyebutan jamak setelah mufrad ataupun mufrad sesudah jamak mempunyai makna dan kedudukan tersendiri dalam pemaknaan Al-Quran dan penafsirannya.





DAFTAR PUSTAKA
Abu Sahro, Kitab Aishar Mudah Memahami Bahasa Arab Dasar, Klaten: Wafa Press. 2003.
Ahmad Syadali, Drs. H.,  dkk., Ulumul Qur’an II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits Fii ‘Uluumil Qur’aan, Terj. Drs. Mudzakir AS., Bogor: PT. Pustara Litera Antar Nusa, 1973.
Muhammad Anwar, Ilmu nahwu,  Bandung: Sinar Baru Algesindo,1995.
Nashruddin Baidan, Dr., Metode Penafsiran Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip di dalam Al-Qur’an, Riau: CV. Fajar Harapan, 1993.







 



[1] Muhammad Anwar, Ilmu nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,1995), hlm. 108
[2] Drs. H. Ahmad Syadali, dkk., Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997) hlm. 89.
[3] Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits Fii ‘Uluumil Qur’aan, Terj. Drs. Mudzakir AS (Bogor: PT. Pustara Litera Antar Nusa, 1973), hlm. 284-286.
[4] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip di dalam Al-Qur’an, (Riau: CV. Fajar Harapan, 1993) hlm 59.
[5] Abu Sahro, kitab aishar mudah memahami bahasa arab dasar, (Klaten: Wafa Press. 2003) hlm. 34-36 
[6] Manna’, Op.Cit.,hlm.286
[7] Manna’, Op.Cit., hlm. 287-288

Tidak ada komentar:

Posting Komentar