KAIDAH-KAIDAH DALAM MEMAHAMI
AYAT-AYAT AL-QUR’AN MELALUI LAFAL-LAFAL YANG TERDAPAT DI DALAMNYA
(Klasifikasi Lafal dari Segi
Jenisnya)
Mata Kuliah:
Qawa’id Al-Tafsir
Oleh:
NORMALIANA
NIM :
1502521465
Dosen:
Prof. Dr. H. Mahyuddin Barni, M.Ag.
Prof. Dr. H. A. Fahmi Arief, M.Ag.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
ANTASARI BANJARMASIN
PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
![]() |
BAB I
PENDAHULUAN
Kitab suci Al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut
seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam
segala as-peknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang
diguna-kannya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami Al-Qur’an
secara utuh dan menyeluruh. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya
penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan
kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para
ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat
digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai
persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai
referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran
yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Al-Qur'an diturunkan
dalam bahasa arab, maka kaidah-kaidah kebahasaan akan dapat membantu dalam
penafsiran al-Qur'an. Tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahami
al-Qur'an kecuali diperlukan adanya penguasaan terhadap bahasa Arab.
Penguasaan terhadap
kaidah bahasa Arab merupakan kunci untuk memahami tafsir Al-Qur’an, karena
setiap kata dan susunan Al-Qur’an mempunyai makna dan kedudukan masing-masing.
Sehingga apabila kita kurang memahami kaidah bahasa Arab, maka kita tidak akan
betul-betul memahami makna Al-Qur’an, apalagi tafsir Al-Qur’an yang merupakan
makna yang lebih mendalam dari setiap ayat Al-Qur’an.
Makalah ini mencoba
memaparkan sekelumit tentang dasar dari tata bahasa Arab yang merupakan modal
awal bagi seorang penafsir atau pemerhati tafsir Al-Qur’an. Mudah-mudahan
makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang
membacanya, aamin.
BAB II
ISIM DAN
PEMBAGIANNYA
A.
Ta’rif dan
Tankir (Isim Ma’rifah dan Nakirah)
1.
Penggunaan Isim Nakirah
Isim nakirah ialah
isim yang menunjukkan suatu perkara yang tidak ditentukan. Contoh: رجلartinya laki-laki yang tidak
ditentukan (bersifat umum).[1]
Penggunaan
isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
a.
Untuk menunjukkan satu,
seperti pada وَجَاءَ رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَى
اْلمَدِيْنَةِ يَسْعَى (Yasin, 36:20). “Rajulun” maksudnya adalah
seorang laki-laki.
b.
Untuk menunjukkan macam,
seperti: وَلَتَجِدَنَّهُمْ
أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ (Al-Baqarah, 2:96), yakni sesuatu macam
dari kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan, sebab keinginan
itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
c.
Untuk menunjukkan satu dan macam
sekaligus. Misalnya pada: وَاللهُ خَلَقَ كُلَّ
دَآبَّةٍ مِّنْ مَآءٍ (An-Nur, 24:45). Maksudnya setiap macam
dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu
(satu) binatang itu berasal dari satu nutfah.
d.
Untuk membesarkan (memuliakan)
keadaan, seperti: فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ
(Al-Baqarah, 2:279). Maksud “harbin” ialah peperangan yang besar atau dahsyat.
e.
Untuk menunjukkan arti banyak,
seperti pada ayat: أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا
(Asy-Syu’ara, 26:42). Maksud “ajran” ialah pahala yang banyak.
f.
Untuk membesarkan dan menunjukkan
banyak (gabungan dua poin di atas) misalnya: وَإِنْ
يُكَذِّبُوْكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ (Fathir, 35:4).
Maksudnya rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.
g.
Untuk meremehkan, misalnya: مِنْ أَيِّ شَيْئٍ خَلَقَهُ (‘Abasa, 80:18).
Yakni, dari sesuatu yang hina, rendah dan teramat remeh.
h.
Untuk menyatakan sedikit,
seperti dalam ayat: وَعَدَ اللهُ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ
جَناَّتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً
فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ (Bara’ah, 9:72).
Maksudnya, keridhaan yang sedkit dari Allah itu lebih besar dari pada surga,
karena keridhaan itu pangkal segala kebahagiaan.
2.
Penggunaan Isim Ma’rifah
Masing-masing
ma’rifah dan nakirah mempunyai fungi yang berbeda. Penggunaan isim ma’rifah
(ta’rif) mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya.[2]
a.
Ta’rif dengan isim dhamir (kata
ganti) karena keadaan menghendaki demikian, baik dhamir mutakallim, mukhathab
ataupun ghaib.
b.
Ta’rif dengan ‘alamiyyah
(nama) berfungsi untuk:
1)
Menghadirkan pemilik nama itu dalam
hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas.
2)
Memuliakan, seperti pada ayat: مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Al-Fath, 48:29).
3)
Menghinakan, seperti pada ayat: تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ (Al-Lahab, 111:1).
c.
Ta’rif dengan isim isyarah
(kata tunjuk) berfungsi untuk:
1)
Menjelaskan bahwa sesuatu yang
ditunjuk itu dekat, seperti: هٰذاَ خَلْقُ
اللهِ فَأَرُوْنِيْ مَاذاَ خَلَقَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهِ (Luqman, 31:11).
2)
Menjelaskan keadaannya dengan
menggunakan kata tunjuk jauh, seperti: وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (ABaqarah,
2:5).
3)
Menghinakan dengan memakai kata
tunjuk dekat, seperti: وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا
لَهْوٌ وَلَعِبٌ (Al-‘Ankabut,
29:64).
4)
Memuliakan dengan memakai kata
tunjuk jauh, seperti pada: ذَلِكَ الْكِتَابُ
لَا رَيْبَ فِيهِ (Al-Baqarah,
2:2)
5)
Mengingatkan (tanbih) bahwa
sesuatu yang ditunjuk (musyar ilaih) yang diberi beberapa sifat itu
sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut.
Misalnya:
ذٰلِكَ اْلكِتَابُ
لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ . اَلَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْناَهُمْ يُنْفِقُوْنَ . وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ
. أُولٰئِكَ عَلَى هُدًى
مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولٰئِكَ هُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ
(Al-Baqarah, 2:2-5)
d.
Ta’rif dengan isim maushul
(kata ganti penghubung) berfungsi:
1)
Karena tidak disukainya menyebutkan
nama sebenarnya untuk menutupinya atau disebabkan hal lain , seperti pada
firman Allah:
وَالَّذِيْ قَالَ لِوَالِدَيْهِ
أُفٍّ لَكُمَا (Al-Ahqaf, 46:17). Dan
firman-Nya: وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا
عَنْ نَفْسِهِ (Yusuf, 12:23).
2)
Untuk menunjukkan arti umum,
seperti: وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (Al-‘Ankabut, 29:69).
3)
Untuk meringkas kalimat, seperti: يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَكُوْنُوْا
كَالَّذِيْنَ آذَوْا مُوْسٰى فَبَرَّأَ
اللهُ مِمَّا قَالُوْا (Al-Ahzab, 33:69). Andaikata nama-nama orang yang mengatakan
itu disebutkan tentulah pembicaraan (kalimat) itu menjadi panjang.
e.
Ta’rif dengan alif-lam (al)
berfungsi:
1)
Untuk menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui karena telah disebutkan (ma’hud zikri), seperti: اَللهُ نُوْرُ السَّمٰوَاتِ
وَاْلأَرْضِ، مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ، اَلْمِصْبَاحُ فِي
زُجَاجَةٍ، اَلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ (An-Nur, 24:35).
2)
Untuk menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui bagi pendengar seperti pada: لَقَدْ
رَضِيَ اللهُ عَنِ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
(Al-Fath, 48:18).
3)
Sesuatu yang sudah diketahui karena
ia hadir pada saat itu seperti: اَلْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ (Al-Maidah, 5:3).
4)
Untuk mencakup semua satuannya (istighraqul
afrad), seperti: إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
(Al-‘Ashr, 103:2). Ini diketahui karena ada pengecualian sesudahnya.
5)
Untuk menghabiskan segala
karakteristik jenis, seperti: ذٰلِكَ
اْلكِتَابُ (Al-Baqarah, 2:2). Maksudnya, kitab yang sempurna petunujuknya
dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya.
6)
Untuk menerangkan esensi, hakikat
dan jenis, seperti dalam ayat: وَجَعَلْنَا مِنَ
اْلمَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ (Al-Anbiya, 21:30). [3]
Di dalam beberapa redaksi yang
mirip terdapat jenis morfem (kata) tetentu yang persis sama, namun berlainan
ketika memakainya. Pada salah satu redaksi, umpamanya, di awal morfem tersebut
ditambahkan alif lam (ال), kata serupa inilah
yang disebut ma’rifat. Dalam pada itu, ayat lain yang beredaksi mirip
dengannya, juga memakai morfem yang sama, tapi tanpa alif lam. Kata yang serupa
ini disebut nakirat. Jadi yang dimaksud dengan perbedaan ma’rifat dan nakirat
di sini ialah berbedanya cara pemakaian jenis morfem tertentu dari segi
penggunaan ال atau tidak.[4]
B.
Mufrad,
Tatsniyah, dan Jamak
1.
Mufrad
(المُفْرَدُ)
Mufrad adalah isim
(kata benda) yang menunjukkan satu (tunggal). Artinya memiliki satu muatan
saja, sepertiمُحَمَّدٌ ,رَجُلٌ ,قَلَم dn
lain sebagainya. Jadi, isim mufrad adalah isim yang menunjukkan dan memiliki
muatan satuyang bukan isim-isim yang di kecualikan di atas.
Contoh:
كِتَابٌ (sebuah buku)
قَلَمٌ (sebuah pena)
رَجُل (seorang laki-laki)
2.
Mutsanna (المثني)
Mutsanna (tatsniah)
adalah isim yang memuat dua (benda/orang) dengan kesesuaian (kesamaan)
lafadznya dan maknanya, dengan menambah alif dan nun atau ya dan nun pada
akhirnya. Dan tambahan tersebut memang pantas dihilangkan (ditiadakan). Dua hal (baik orang/benda) yang dimuat oleh mutsanna
haruslah sesuai lafadz dan maknanya.
Contoh:
رَجُل (seorang laki-laki) diubah menjadi رَجُلَانِ (dua orang laki-laki)
قَلَمٌ (sebuah pulpen) diubah menjadi قَلَمَان (dua buah pulpen)
كِتَابٌ (sebuah buku) diubah menjadi كِتَابَان (dua
buah buku)
3. Jama’ (الجمع).
Jamak adalah isim yang memuat (benda atau orang) tiga
atau lebih dengan tambahan pada akhirannya seperti: كَاتِبُوْنَ, كَاتِبَاتُ, سَالِمِيْنَ, مُسْلِمُوْنَ dan lain
sebagainnya atau bangunan kata (aslinya) mengalami perubahan, seperti: كُتُبٌ, رِجَالٌ, اَقْلَامٌ dan
lain sebagainya.
Jamak di bagi menjadi tiga yaitu:
Jamak taksir, jamak mudzakkar salim, dan jamak muannats salim.
a.
Jamak taksir ( جمع
تكسير )
Jamak taksir
adalah kata isim yang memuat lebih dari dua (orang atau benda) dan bentuk
mufradnya berubah tidak beraturan sebagaimana yang lazimnya (baku) ketika
dijamakkan.
Contohnya:
كِتَابٌ menjadi كُتُبٌ
عَالِم menjadi عُلَمَاء
اَنْبِيَاء menjadi نبي
قَلَم menjadi اَقْلَام
Perubahannya
adakalanya menambahi huruf, seperti اَقْلَامٌ (jamak
dari kata قَلَمٌ), قُلُوْبٌ(jamak dari kata قَلْبٌ), مَصَابِيْحُ (jamak
dari kata مِصْبَاحٌ). Ada kalanya
mengurangi huruf, seperti تُخْمٌ (jaak
dari kata تُخْمَةٌ ), رُسُلٌ (jamak dari kata رَسُوْلٌ) dan adakalanya merubah harakat,
seperti: اُسُدٌ (jamak dari
kata اَسَدٌ )
b.
Jamak mudzakkar salim
Jamak mudzakkar
salim adalah kata jamak dengan tambahan wawu-nun (ketika rafa) seperti: قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. Atau ya-nun ( ketika
nasab dan jar), seperti: اَكْرَمَ المُدَرِّسِيْنَ,
اِذْهَبْ اِلَي الطَالِبِيْنَ
c.
Jamak muannats salim
Jamak
muannats salim kata jamak dengan tambahan alif dan ta’pada akhirnya.
Seperti: مَدْرَسَاتُ, صَا
لِحَاتُ, هِنْدَاتُ dll.
Kata yang
dijamakkan dengan jamak muánnats salim antara lain: Isim álam (kata nama)
untuk muánnats, seperti: هِدَايَةٌ,
مَائِدَةٌ, فَاطِمَةٌ, مَرْيَمُ (semua nama untuk
wanita), maka menjadi هِدَايَاتُ, مَائِدَاتُ,
فَاطِمَاتُ, مَرْيَمَاتُ dst.[5]
C.
Penyebutan
Isim yang Berulang
Apabila sebuah
isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan; kedua-duanya
ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua
ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah.
1.
Apabila kedua-duanya ma’rifah maka
pada umumnya yang kedua adalah hakikat
yang pertama. Misalnya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ اْلمُسْتَقِيْمَ
. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (Al-Fatihah, 6-7).
2.
Jika kedua-duanya nakirah, maka
yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya: اَللهُ
الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ
جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً (Ar-Rum, 30:54). Dha’af pertama adalah nuthfah
(sperma), dha’af yang kedua thufuliyyah (masa bayi), sedang dha’af yang
ketiga adalah syaikhukhah (masa lanjut usia).
Kedua macam ini telah berkumpul
pada ayat: فَإِنَّ مَعَ اْلعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ
اْلعُسْرِ يُسْرًا (Al-Insyirah, 94:5-6). Oleh karena itu
dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas berkata: “Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan
mengalahkan dua yusr (kemudahan). Hal ini karena kata ‘usr yang kedua diulangi
dengan al (ma’rifah), maka ia adalah ‘usr yang pertama, sedang kata yusr
yang kedua bukan yusr yang pertama karena ia diulangi tanpa al.
3.
Jika yang pertama nakirah dan yang
kedua ma’rifah maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang
sudah diketahui. Misalnya dalam ayat: كَمَا
أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُوْلاً . فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ (Al-Muzzammil, 73:15-16).
4.
Jika yang pertama ma’rifah sedang
yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah.
Terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda, seperti pada
firman-Nya: وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ، يُقْسِمُ
اْلمُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ (Ar-Rum, 30:55). Terkadang
pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ
فِي هٰذَا اْلقُرْآنِ
مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ . قُرْآناً عَرَبِيًّا (Az-Zumar, 39:27-28). Dan ayat: وَأَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ
مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ، وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ
عَنْ سَبِيْلِهِ (Al-An’am, 6:153).[6]
D.
Penyebutan
Isim Jamak dan Mufrad
Sebagian lafazh dalam Al-Qur’an dimufradkan
untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih
diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an
sering dijumpai sebagian lafazh yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika
diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonim (muradif)-nya.
Misalnya kata “al-lubb”(اللب) yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, albaab,
seperti terdapat pada ayat: إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِأُولِي
اْلأَلْبَابِ (Az-Zumar, 39:21). Kata ini tidak pernah dipergunakan dalam
Al-Qur’an bentuk mufradnya, namun muradifnya disebutkan, yaitu lafazh al-qalb (القلب) seperti: إِنَّ
فِي ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ
لَهُ قَلْبٌ (Qaf, 57:37). Dan kata
al-kub (الكوب) tidak pernah dipakai
bentuk mufradnya, tetapi selalu bentuk jamaknya, al-akwab. Misalnya: وَأَكْوَابٌ مَوْضُوْعَةٌ (Al-Ghasyiyah,
88:14).
Sebaliknya ada sejumlah lafazh yang hanya
datang dalam bentuk mufradnya di setiap tempat dalam Al-Qur’an. Dan ketika
hendak dijamakkan maka ia dijamakkan dalam bentuk yang menarik yang tiada
bandingannya, seperti terdapat pada ayat: اَللهُ
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوَاتٍ وَمِنَ
اْلأَرْضِ مِثْلَهُنَّ (At-Thalaq, 65:12). Allah tidak berfirman وَسَبْعَ أَرَضِيْنَ , karena yang demikian adalah kasar dan
merusak keteraturan susunan kalimat.
Termasuk kelompok ini ialah lafazh اَلسَّمَاءَ , ia terkadang disebutkan dalam bentuk
jamak dan terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan kerperluan. Jika yang
dimaksudkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak yang
menunjukkan betapa sangat besar da luasnya, seperti terdapat dalam ayat: سَبَّحَ لِلهِ مَا فِي السَّمٰوَاتِ
وَاْلأَرْضِ (Al-Hasyr, 59:1). Dan jika yang dimaksud adalah “arah”, maka ia
didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti: أَأَمِنْتُمْ
مَنْ فِي السَّمَآءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (Al-Mulk, 67:16).
Lafazh ar-riih (اَلرِّيْحُ)
juga termasuk kategori ini , ia disebutkan dalam bentuk jamak dan mufrad.
Pemakaian bentuk jamak dalam dalam konteks rahmat sedang bentuk mufrad
dalam konteks adzab. Disebutkan, hikmahnya ialah bahwa رِيَاحُ الرَّحْمَةِ atau angin rahmat itu macam-macam sifat
dan manfaatnya – dan terkadang sebagiannya berhadapan dengan sebagian yang lain
– di antaranya ada angin semilir yang bermanfaat bagi hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu dalam konteks rahmat ini ia dijamakkan رِيَاحُ . sedang dalam konteks adzab, “riih” atau
angin itu datang dari satu arah, tanpa ada yang menentang atau menolaknya.
Ibn Abi Hatim dan yang lain meriwayatkan, Abu
Ka’b berkata: “Segala sesuatu yang disebut dengan ar-riyaah dalam
Al-Qur’an adalah rahmat, sedang yang disebut dengan ar-riih adalah
adzab. Oleh karena itu tersebutlah dalam sebuah hadits: Allaahumma ij’alhaa
riyaahan walaa taj’alhaa riihan. Jika tidak demikian maka hal itu karena
ada hikmah lain”.
Termasuk kelompok ini adalah lafazh an-nuur
yang senantiasa dimufradkan dan lafazh azh-zhulumaat yang senantiasa
jamak. Juga lafazh sabiil al-haq yang selalu dimufradkan dan subul
al-baathil yang selalu dijamakkan. Ini karena jalan (sabiil) menuju
kebenaran itu hanya satu sedang jalan menuju kebatilan banyak sekali dan
bercabang-cabang. Dengan alasan ini lafazh waliyyul mu”miniin
dimufradkan dan auliyaaul kaafiriin dijamakkan. Seperti terlihat dalam: وَاللهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّوْرِ، وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ
مِنَ النُّوْرِ إِلَى الظُّلُمَاتِ (Al-Baqarah,
2:257). [7]
BAB III
KESIMPULAN
Pemahaman dan penguasaan dalam
proses penafsiran Al-Qur’an mutlak diperlukan, karena merupakan modal awal bagi
seorang penafsir untuk memahami Al-Qur’an secara lebih mendalam. Kurangnya
pemahaman terhadap kaidah bahasa Arab akan berakibat pada kesalahan penafsiran
Al-Quran.
Isim dilihat dari khusus atau
umumnya terbagi manjadi dua: isim nakirah, yang merupakan isim yang mengandung
makna masih umum seperti رَجُلٌ (seorang laki-laki)
tetapi belum ditentukan laki-laki yang mana. Sedangkan isim ma’rifah, yaitu
isim yang sudah jelas makna yang dimaksud seperti الرَجُلُ (seorang laki-laki tersebut)
artinya sudah jelas laki-laki yang dimaksud.
Isim dilihat dari jumlah atau
bilangannya dibagi menjadi tiga macam, yaitu mufrad, mutsanna, dan jamak.
Sedangkan jamak dalam bahasa Arab ada tiga macam, yaitu jamak taksir, jamak
mudzakkar salim, dan jamak muannats salim.
Penyebutan jamak setelah mufrad
ataupun mufrad sesudah jamak mempunyai makna dan kedudukan tersendiri dalam pemaknaan
Al-Quran dan penafsirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sahro, Kitab Aishar Mudah Memahami
Bahasa Arab Dasar, Klaten: Wafa Press. 2003.
Ahmad Syadali, Drs. H., dkk., Ulumul Qur’an II, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1997.
Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits Fii ‘Uluumil
Qur’aan, Terj. Drs. Mudzakir AS., Bogor: PT. Pustara Litera Antar Nusa,
1973.
Muhammad Anwar, Ilmu nahwu,
Bandung: Sinar Baru Algesindo,1995.
Nashruddin Baidan, Dr., Metode Penafsiran
Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip di dalam Al-Qur’an, Riau: CV. Fajar Harapan,
1993.
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar